Setelah Masyarakat
Terlena menggunakan Elpiji
HARI GINI PAKAI BRIKET BATUBARA?
Oleh : Ir. Ahsonul Anam,
MT
Pertanyaan di atas tampaknya yang
sering dilontarkan oleh beberapa warga masyarakat di saat harga bahan bakar
sudah mulai murah lagi. Program konversi penggunaan minyak tanah ke elpiji juga
membuat masyarakat kita mulai “melupakan” penggunaan minyak tanah. Apalagi
setelah masyarakat mulai terbiasa dengan kompor gas, dengan segala
kenyamanannya, tentunya pantas bila sekarang kita mendengar ucapan sayonara
pada minyak tanah. Kita patut mengacungkan jempol untuk program konversi
tersebut, walaupun kita juga perlu juga memberikan catatan adanya beberapa
kelemahan dari program tersebut dalam pelaksanannya di lapangan.
Rasa nyaman yang sudah kadung
dinikmati masyarakat atas penggunaan elpiji membuat mereka enggan untuk melirik
(lagi) ke penggunaan minyak tanah, apalagi ke briket batubara. Sudah susah
dinyalakan dan dimatikan, bau asapnya mengganggu, belum lagi seabreg kekurangan-kekurangan
yang lain. Jadi pantaslah bila terdengar lontaran pertanyaan yang agak sinis
ini : Hari gini pakai briket batubara ?.
Program Konversi
Minyak Tanah
Program konversi
penggunaan minyak tanah ke elpiji dilaksanakan berdasarkan Surat Wakil Presiden
RI Nomor 20/WP/9/2006 tanggal 1 September 2006. Dalam program itu, pemerintah
berencana mengkonversi penggunaan minyak tanah sekitar 5,2 juta kilo liter
kepada penggunaan 3,5 juta ton elpiji hingga tahun 2010. Program ini telah dimulai
dengan meyalurkan 1 juta kilo liter minyak tanah pada 2007. Dihapakan pada
akhir tahun 2010, tercapai sebanyak 80% konsumsi minyak tanah bisa beralih ke elpiji.
Walaupun ada beberapa
kekurangan, terlihat dengan program tersebut masyarakat mulai bisa merasakan
kelebihan penggunaan bahan bakar gas tersebut. Masyarakat yang sudah
menggunakan elpiji semakin setia menggunakannya. Mereka juga mulai “malas”
menggunakan minyak tanah, selain karena kurang praktis dibanding penggunaan elpiji,
pasokan minyak tanah ke masyarakat juga sudah mulai sulit didapat.
Akhirnya masyarakat jadi
“terlena” dengan penggunaan elpiji murah bersubsidi dan lupa melakukan upaya
diversifikasi ke energi non elpiji. Ketika suatu saat bila harga elpiji dinaikkan dengan
kenaikan yang signifikan, barulah terjadi hiruk pikuk wacana mencari bahan
bakar alternatif. Haruskah kita menunggu hal ini terjadi ? Menurut saya, sangat
terlambat.
Tentunya kita ingat,
setiap terjadi kenaikan harga BBM kita sangat panik. Demonstrasi digelar di
mana-mana. Protes, cacian dan makian begitu gampang keluar dari mulut kita yang
ditujukan kepada pemerintah. Tapi, apa manfaat dari semua itu? Tidak ada.
Tragisnya, kepanikan itu
pun hanya sesaat, lalu untuk selanjutnya beradaptasi pada situasi baru yang
menyesakkan tersebut. Mungkin kita telah terbiasa hidup dalam kesesakan, harus (lebih)
mengetatkan ikat pinggang sehingga kita mudah adaptif terhadap semakin mahalnya
harga barang-barang. Atau memang kita hanya bisa nerima dan pasrah
dengan kondisi yang semakin susah.
Diversifikasi Energi Non Elpiji
Ada beberapa energi
alternatif gas selain Elpiji, misalnya dimethyl ether (lihat Ahsonul Anam, Suara
Merdeka 23/2/09). Namun tak ada salahnya bila kita mencoba bahan bakar
padat misalnya briket, yang kata sementara orang, ketinggalan zaman. Mengapa
briket batu bara? Bukankah penggunaan briket batu bara sebagai bahan bakar
sangat berbahaya bagi kesehatan penggunanya? Hal ini didasari fakta bahwa rumah-rumah di Indonesia
rata-rata dirancang tanpa dilengkapi cerobong dapur sebagai saluran pembuangan
asap.
Bahaya itu kian jelas
karena di Indonesia, yang disebut ventilasi hanyalah berupa satu lubang di
langit-langit atau dinding dapur. Memasak dalam ruangan dengan bahan bakar
padat, termasuk batu bara, bisa meningkatkan risiko kanker paru-paru secara
signifikan.
Tantu alasan-alasan
tersebut bisa kita terima. Tapi apakah alasan tersebut kemudia membuat kita menghentikan
langkah untuk melakukan upaya diversifikasi energi? Sebagai analog, bukankah
tangkai bunga mawar dikelilingi oleh duri-duri yang tajam, namun toh
tidak menyurutkan kita untuk menghirup semerbak wanginya. Ombak yang tinggi di
pantai di negeri nun jauh di sana, justru menjadi arena olah raga selancar
yang menantang.
Namun (maaf)
seperti biasanya, oleh karena kita takut dengan ombak besar maka potensi
tersebut lenyap begitu saja. Dan banyak contoh yang lain, di mana bila potensi
itu ada di negara kita, kita anggap sebagai rintangan. Sementara di negara lain, potensi itu justru jadi tantangan untuk ditaklukkan Bukankah di dalam kesulitan pasti ada
kemudahan ?.
Sebagai gambaran, briket
batu bara memiliki tingkat emisi yang jauh lebih rendah dari pada minyak tanah.
Hal ini menjadikannya sebagai sumber energi substitusi yang lebih aman bagi
kesehatan. Hasil uji Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT)
menunjukkan pembakaran 1 kg briket selama 2-3 jam hanya menghasilkan tingkat
emisi karbonmonoksida (C0) rata-rata 106 ppm. Sementara minyak tanah 250-390
ppm, atau tiga kali lipatnya.
Briket batu bara juga
hanya menciptakan emisi nitrogen monoksida (NO) dengan konsentrasi amat kecil
lantaran tidak dibakar dalam temperatur amat tinggi. Sementara tingkat emisi
sulfur dioksida (SO2) briket rata-rata di bawah satu persen. Sebua
angka yang sangat aman untuk kesehatan, mengingat kandungan sulfur batu bara
Indonesia rendah.
Makanan yang dimasak dengan menggunakan kompor briket
batu bara tidak memiliki risiko besar terhadap kanker. Pengujian hal tersebut
telah dilakukan BPPT melalui uji coba daging yang dibakar dengan briket serta
arang dan membawanya ke Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika
(LPPOM). Hasilnya, trend ke arah kanker sama saja dengan bila menggunakan bahan
bakar bukan briket. Jadi tidak ada bedanya dan sangat tergantung dari cara
memasaknya.
Keunggulan
lain dari briket adalah harganya yang lebih murah (Rp 1200 - Rp 1500 per
kilogram) dibanding minyak tanah di pasaran (Rp 4000 - 6000 per liter). Harga
briket batu bara juga lebih murah bila dibandingkan dengan harga elpiji. Harga elpiji
kemasan 3 kg Rp. 4250/kg sedang kemasan 12 kg Rp. 5750 (per Agustus 2008).
Perlu diketahui, satu
liter minyak tanah setara dengan 1,8 – 2 kg briket. Sedangkan 1 kg elpiji setara
dengan 2,5 kg briket batu bara. Dengan demikian, untuk membeli 1 liter minyak
tanah Rp 4000 sedangkan untuk membeli briket cukup dengan Rp. 3000 saja.
Harga briket juga lebih
murah dibandingkan dengan harga elpiji kemasan 12 kg. Bila debandingkan dengan elpiji
kemasan 3 kg (bersubsidi), harganya seimbang. Namun perlu diingat, bila
masyarakat pengguna elpiji kemasan 12 kg ramai-ramai beralih ke kemasan 3 kg,
padahal suplainya terbatas, maka kanyataan di lapangan akan berkata lain.
Hukum penawaran dan
permintaan sebagaimana dalam ilmu ekonomi dipastikan akan terjadi. Kenaikan
harga elpiji kemasan 3 kg tidak bisa dihindari lagi. Kalau sudah begini, mau
tidak mau, ya masyarakat harus berpaling ke sumber energi lain yang harganya
lebih murah, dan ini bisa didapatkan dari briket batubara.
Untuk ukuran
rumah tangga, karena alasan-alasan non teknis (tidak praktis, ribet dan
lain-lain), mungkin kurang tertarik dengan pengunaaan briket. Lalu bagaimana
dengan sektor industri kecil dan menengah ?.
Pemakai utama minyak tanah (sebelum ada program
konversi ke elpiji) adalah sektor rumah tangga dan industri kecil. Walaupun
jumlah konsumen minyak tanah dari golongan industri kecil/ menengah relatif
lebih sedikit dibandingkan dengan sektor rumah tangga, namun konsumsi minyak
tanah di industri kecil ataupun menengah tersebut cukup besar.
Sebagai contoh, untuk industri kecil seperti pembuat
tempe diperlukan kurang lebih 1 liter minyak tanah untuk memasak 10 kg
kedelai/perhari. Jumlah konsumsi kedelai untuk setiap pengrajin tahu tempe
sangat bervariasi, mulai dari 10 kg/hari hingga lebih dari 300 kg/hari.
Sehingga konsumsi rata-rata minyak tanah untuk industri tempe seperti di kota
Semarang diperkirakan sebesar 1.750 liter per hari. Bila dari contoh kecil ini, pengusaha tempe
beralih ke penggunaan briket, berapa banyak uang yang bisa dihemat ?.
Sementara
itu penggunaan briket batubara juga memberikan penghematan yang signifikan bagi
nelayan yang menggunakan pengering oven. Penggunaan oven menguntungkan nelayan
sebab pada musim hujan mereka masih tetap dapat berproduksi.
Briket
batu bara bisa dimanfaatkan untuk berbagai keperluan seperti pengasapan karet,
pengeringan tembakau, teh, cokelat, dan kopi. Briket
batu bara juga bisa dimanfaatkan untuk keperluan restaurant, seperti
memanggang kambing guling, pemindangan ikan, usaha bandeng presto, gudeg. Di
samping itu, briket batu bara juga bermafaat bagi industri rumahan seperti
pembuatan roti, kue, krupuk, mie, bakso, soto, pengolahan jamur, jamu, teh,
garam, dan gula merah. Masih banyak lagi sektor ekonomi kecil yang bisa
memanfaatkan penggunaan briket batu bara sebagai sumber energi alternatifnya.
Sebagian besar industri pemakai briket batu bara merupakan
pasar yang cukup potensial mengingat sebagian besar merupakan anggota koperasi
atau KUD. Berdasarkan hasil survei, perkiraan kebutuhan briket batu bara untuk
industri kecil pengeringan gabah di Jawa dan Bali mencapai angka 573.073 ton
per tahun. Sementara industri tahu dan tempe sebesar 308.780 ton per tahun,
pemanas ayam (DOC) sekitar 181.030 ton, pondok pesantren 26.003 ton dan
industri kecil jamu sebesar 700.800 ton/tahun. Tabel berikut menunjukkan
potensi pengguna briket batubara.
Tabel
Perkiraan pemakaian briket batubara di Jawa dan Bali
(Ton )
|
||||||
Industri Pemakai
|
Jawa Barat
|
Jawa Tengah
|
Jawa Timur
|
Yogyakarta
|
Bali
|
Total
|
Tahu/Tempe
|
111.660
|
84.500
|
96.400
|
8.150
|
8.070
|
308.780
|
Pengeringan
gabah
|
207.053
|
166.575
|
170.677
|
12.944
|
15.824
|
573.073
|
Pemanas
ayam
|
53.244
|
53.244
|
53.244
|
10.649
|
10.649
|
181.030
|
Pesantren
|
11.813
|
4.271
|
9.040
|
788
|
91
|
26.033
|
Jamu
|
87.600
|
87.600
|
525.600
|
-
|
-
|
700.800
|
Lain-Lain*)
|
2.520
|
1.992
|
2.400
|
120
|
100
|
7.132
|
Total
|
473.800
|
398.182
|
857.361
|
32.651
|
37.734
|
1.976.818
|
*)
industri mie, rumah makan, industri petis, pabrik roti, pengeringan batubara,
pengolahan kulit
Sumber : Departemen Koperasi & PKM |
Selama ini,
briket batu bara terbatas diproduksi oleh PT Tambang Batu Bara Bukit Asam (PT
BA) yang mengoperasikan tiga pabriknya di Tanjung Enim, Tarahan dan Gresik. Masing-masing
dengan kapasitas produksi terpasang 10.000 ton/tahun, 12.000 ton/tahun dan 120.000
ton/tahun. Pabrik briket di Tanjung Enim merupakan kerja sama antara PT BA
dengan New Energy and Industrial Technology Development Organization (NEDO)
Jepang dengan menerapkan teknologi proses briket terkarbonisasi.
Sedangkan
pabrik di Tarahan, sebelumnya memproduksi briket arang kayu dengan teknologi
proses dari Spanyol. Sejak tahun 1996 dikembangkan menjadi pabrik briket batu bara
yang dapat memproduksi briket jenis telur tidak terkarbonisasi. Sedangkan pabrik
di Gresik mengaplikasi teknologi dalam negeri yang menghasilkan briket sarang
tawon jenis kubus dan tidak terkarbonisasi. Selain PT BA, terdapat dua
perusahaan swasta yang memproduksi briket batu bara yaitu CV Sinar Teknik Utama
yang memiliki kapasitas produksi 1.800 ton/tahun.
Cara menggunakan briket secara benar
Sebagian kelompok masyarakat ada yang beranggapan,
briket batu bara semata-mata merupakan bongkahan hitam yang apabila dibakar
akan menimbulkan asap kotor hitam, mengotori lingkungan dan mengeluarkan zat
beracun. Pandangan tersebut keliru.
Briket batu bara terdiri dari dua jenis, yaitu briket
terkarbonisasi dan briket yang tidak terkarbornisasi. Jenis pertama telah
melalui satu tahapan proses karbonisasi untuk mengurangi zat beracun (volatile
matter). Sementara jenis kedua kualitasnya memang lebih rendah, tetapi
cocok digunakan pada sektor industri kecil dan menengah yang biasanya melakukan
pembakaran di ruangan terbuka.
Dalam menggunakan briket batu bara, kompor sebaiknya
diletakkan di tempat yang agak tinggi. Pintu atau jendela udara yang terletak
di dekat kompor harus terbuka lebar, agar sirkulasi udara bisa berjalan lancar
untuk meminimalisasi resiko karena penggunaan briket.
Pada waktu pertama kali dinyalakan pertama kali
(khususnya untuk briket non karbonisasi), akan timbul asap yang mungkin
mengganggu. Disarankan untuk tidak berada di dapur sekitar 10 menit pertama agar
terhindar dari bau tersebut. Untuk mengatur panas/nyala, gunakan pengatur udara
di bagian bawah kompor, dibuka lebar untuk pemanasan yang maksimum dan
disempitkan untuk pemanasan minimum.
Sebagai langkah penghematan, gunakan briket sesuai
dengan kebutuhan. Pemadaman dapat dilakukan dengan menutup pengatur udara dan
bagian atas kompor (dengan penutupan). Atau mengambil satu persatu briket
(khususnya yang tipe telur) yang menyala dengan penjepit kemudian dibenamkan ke
dalam pasir atau abu briket batubara.
Manfaat dan keuntungan memasak dengan briket batubara
antara lebih irit dan hemat, panas yang tinggi dan
kontinyu sehingga sangat baik untuk pembakaran yang membutuhkan waktu lama. Nyala dari briket
relatif bersih (tidak berjelaga), daya tahan nyalanya juga cukup lama.
Sedangkan rasa, bau dan aroma
dari masakan yang dimasak tetap asli/orisinil. Pemakaia briket batu bara juga
bisa terhindar dari resiko kompor atau tabung yang meledak
dan terbakar.
Oleh karena itu, dengan berbagai
kelebihan yang dimiliki oleh briket batu bara tersebut seharusnya bisa
dijadikan energi alternatif selain minyak tanah dan elpiji. Masalahnya, di
masyarakat masih terjadi kesalahpahaman dalam memahami briket batu bara.
Mungkin di sini diperlukan kebijakan pemerintah untuk memasyarakatkan briket
batu bara sebagai energi alternatif. Lalu, masihkah kita harus mendengar lagi
pertanyaan “Hari gini pakai briket batu bara?”***
Ir. Ahsonul Anam, MT
Staf Sub Bidang
Konversi dan Pengendalian Polusi, Bidang Energi Fosil B2TE BPPT Puspiptek
Serpong Tangerangemail : ahsonosh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar