Selasa, 11 Juni 2013

Hari Gini Pakai Briket Batubara ?



Setelah Masyarakat Terlena menggunakan Elpiji
HARI GINI PAKAI BRIKET BATUBARA?

Oleh : Ir. Ahsonul Anam, MT

            Pertanyaan di atas tampaknya yang sering dilontarkan oleh beberapa warga masyarakat di saat harga bahan bakar sudah mulai murah lagi. Program konversi penggunaan minyak tanah ke elpiji juga membuat masyarakat kita mulai “melupakan” penggunaan minyak tanah. Apalagi setelah masyarakat mulai terbiasa dengan kompor gas, dengan segala kenyamanannya, tentunya pantas bila sekarang kita mendengar ucapan sayonara pada minyak tanah. Kita patut mengacungkan jempol untuk program konversi tersebut, walaupun kita juga perlu juga memberikan catatan adanya beberapa kelemahan dari program tersebut dalam pelaksanannya di lapangan.
            Rasa nyaman yang sudah kadung dinikmati masyarakat atas penggunaan elpiji membuat mereka enggan untuk melirik (lagi) ke penggunaan minyak tanah, apalagi ke briket batubara. Sudah susah dinyalakan dan dimatikan, bau asapnya mengganggu, belum lagi seabreg kekurangan-kekurangan yang lain. Jadi pantaslah bila terdengar lontaran pertanyaan yang agak sinis ini : Hari gini pakai briket batubara ?.

Program Konversi Minyak Tanah
Program konversi penggunaan minyak tanah ke elpiji dilaksanakan berdasarkan Surat Wakil Presiden RI Nomor 20/WP/9/2006 tanggal 1 September 2006. Dalam program itu, pemerintah berencana mengkonversi penggunaan minyak tanah sekitar 5,2 juta kilo liter kepada penggunaan 3,5 juta ton elpiji hingga tahun 2010. Program ini telah dimulai dengan meyalurkan 1 juta kilo liter minyak tanah pada 2007. Dihapakan pada akhir tahun 2010, tercapai sebanyak 80% konsumsi minyak tanah bisa beralih ke elpiji.
Walaupun ada beberapa kekurangan, terlihat dengan program tersebut masyarakat mulai bisa merasakan kelebihan penggunaan bahan bakar gas tersebut. Masyarakat yang sudah menggunakan elpiji semakin setia menggunakannya. Mereka juga mulai “malas” menggunakan minyak tanah, selain karena kurang praktis dibanding penggunaan elpiji, pasokan minyak tanah ke masyarakat juga sudah mulai sulit didapat.
Akhirnya masyarakat jadi “terlena” dengan penggunaan elpiji murah bersubsidi dan lupa melakukan upaya diversifikasi ke energi non elpiji. Ketika suatu saat bila harga elpiji dinaikkan dengan kenaikan yang signifikan, barulah terjadi hiruk pikuk wacana mencari bahan bakar alternatif. Haruskah kita menunggu hal ini terjadi ? Menurut saya, sangat terlambat.
Tentunya kita ingat, setiap terjadi kenaikan harga BBM kita sangat panik. Demonstrasi digelar di mana-mana. Protes, cacian dan makian begitu gampang keluar dari mulut kita yang ditujukan kepada pemerintah. Tapi, apa manfaat dari semua itu? Tidak ada.
Tragisnya, kepanikan itu pun hanya sesaat, lalu untuk selanjutnya beradaptasi pada situasi baru yang menyesakkan tersebut. Mungkin kita telah terbiasa hidup dalam kesesakan, harus (lebih) mengetatkan ikat pinggang sehingga kita mudah adaptif terhadap semakin mahalnya harga barang-barang. Atau memang kita hanya bisa nerima dan pasrah dengan kondisi yang semakin susah.

Diversifikasi Energi Non Elpiji
Ada beberapa energi alternatif gas selain Elpiji, misalnya dimethyl ether (lihat Ahsonul Anam, Suara Merdeka 23/2/09). Namun tak ada salahnya bila kita mencoba bahan bakar padat misalnya briket, yang kata sementara orang, ketinggalan zaman. Mengapa briket batu bara? Bukankah penggunaan briket batu bara sebagai bahan bakar sangat berbahaya bagi kesehatan penggunanya? Hal ini didasari fakta bahwa rumah-rumah di Indonesia rata-rata dirancang tanpa dilengkapi cerobong dapur sebagai saluran pembuangan asap.
            Bahaya itu kian jelas karena di Indonesia, yang disebut ventilasi hanyalah berupa satu lubang di langit-langit atau dinding dapur. Memasak dalam ruangan dengan bahan bakar padat, termasuk batu bara, bisa meningkatkan risiko kanker paru-paru secara signifikan.
Tantu alasan-alasan tersebut bisa kita terima. Tapi apakah alasan tersebut kemudia membuat kita menghentikan langkah untuk melakukan upaya diversifikasi energi? Sebagai analog, bukankah tangkai bunga mawar dikelilingi oleh duri-duri yang tajam, namun toh tidak menyurutkan kita untuk menghirup semerbak wanginya. Ombak yang tinggi di pantai di negeri nun jauh di sana, justru menjadi arena olah raga selancar yang  menantang.
Namun (maaf) seperti biasanya, oleh karena kita takut dengan ombak besar maka potensi tersebut lenyap begitu saja. Dan banyak contoh yang lain, di mana bila potensi itu ada di negara kita, kita anggap sebagai rintangan.  Sementara di negara lain, potensi itu  justru jadi tantangan untuk ditaklukkan  Bukankah di dalam kesulitan pasti ada kemudahan ?.
Sebagai gambaran, briket batu bara memiliki tingkat emisi yang jauh lebih rendah dari pada minyak tanah. Hal ini menjadikannya sebagai sumber energi substitusi yang lebih aman bagi kesehatan. Hasil uji Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) menunjukkan pembakaran 1 kg briket selama 2-3 jam hanya menghasilkan tingkat emisi karbonmonoksida (C0) rata-rata 106 ppm. Sementara minyak tanah 250-390 ppm, atau tiga kali lipatnya.
Briket batu bara juga hanya menciptakan emisi nitrogen monoksida (NO) dengan konsentrasi amat kecil lantaran tidak dibakar dalam temperatur amat tinggi. Sementara tingkat emisi sulfur dioksida (SO2) briket rata-rata di bawah satu persen. Sebua angka yang sangat aman untuk kesehatan, mengingat kandungan sulfur batu bara Indonesia rendah.
            Makanan yang dimasak dengan menggunakan kompor briket batu bara tidak memiliki risiko besar terhadap kanker. Pengujian hal tersebut telah dilakukan BPPT melalui uji coba daging yang dibakar dengan briket serta arang dan membawanya ke Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika (LPPOM). Hasilnya, trend ke arah kanker sama saja dengan bila menggunakan bahan bakar bukan briket. Jadi tidak ada bedanya dan sangat tergantung dari cara memasaknya.
            Keunggulan lain dari briket adalah harganya yang lebih murah (Rp 1200 - Rp 1500 per kilogram) dibanding minyak tanah di pasaran (Rp 4000 - 6000 per liter). Harga briket batu bara juga lebih murah bila dibandingkan dengan harga elpiji. Harga elpiji kemasan 3 kg Rp. 4250/kg sedang kemasan 12 kg Rp. 5750 (per Agustus 2008).
Perlu diketahui, satu liter minyak tanah setara dengan 1,8 – 2 kg briket. Sedangkan 1 kg elpiji setara dengan 2,5 kg briket batu bara. Dengan demikian, untuk membeli 1 liter minyak tanah Rp 4000 sedangkan untuk membeli briket cukup dengan Rp. 3000 saja.
Harga briket juga lebih murah dibandingkan dengan harga elpiji kemasan 12 kg. Bila debandingkan dengan elpiji kemasan 3 kg (bersubsidi), harganya seimbang. Namun perlu diingat, bila masyarakat pengguna elpiji kemasan 12 kg ramai-ramai beralih ke kemasan 3 kg, padahal suplainya terbatas, maka kanyataan di lapangan akan berkata lain.
Hukum penawaran dan permintaan sebagaimana dalam ilmu ekonomi dipastikan akan terjadi. Kenaikan harga elpiji kemasan 3 kg tidak bisa dihindari lagi. Kalau sudah begini, mau tidak mau, ya masyarakat harus berpaling ke sumber energi lain yang harganya lebih murah, dan ini bisa didapatkan dari briket batubara.
            Untuk ukuran rumah tangga, karena alasan-alasan non teknis (tidak praktis, ribet dan lain-lain), mungkin kurang tertarik dengan pengunaaan briket. Lalu bagaimana dengan sektor industri kecil dan menengah ?.
     Pemakai utama minyak tanah (sebelum ada program konversi ke elpiji) adalah sektor rumah tangga dan industri kecil. Walaupun jumlah konsumen minyak tanah dari golongan industri kecil/ menengah relatif lebih sedikit dibandingkan dengan sektor rumah tangga, namun konsumsi minyak tanah di industri kecil ataupun menengah tersebut cukup besar.
Sebagai contoh, untuk industri kecil seperti pembuat tempe diperlukan kurang lebih 1 liter minyak tanah untuk memasak 10 kg kedelai/perhari. Jumlah konsumsi kedelai untuk setiap pengrajin tahu tempe sangat bervariasi, mulai dari 10 kg/hari hingga lebih dari 300 kg/hari. Sehingga konsumsi rata-rata minyak tanah untuk industri tempe seperti di kota Semarang diperkirakan sebesar 1.750 liter per hari.  Bila dari contoh kecil ini, pengusaha tempe beralih ke penggunaan briket, berapa banyak uang yang bisa dihemat ?.
            Sementara itu penggunaan briket batubara juga memberikan penghematan yang signifikan bagi nelayan yang menggunakan pengering oven. Penggunaan oven menguntungkan nelayan sebab pada musim hujan mereka masih tetap dapat berproduksi.
            Briket batu bara bisa dimanfaatkan untuk berbagai keperluan seperti pengasapan karet, pengeringan tembakau, teh, cokelat, dan kopi. Briket batu bara juga bisa dimanfaatkan untuk keperluan restaurant, seperti memanggang kambing guling, pemindangan ikan, usaha bandeng presto, gudeg. Di samping itu, briket batu bara juga bermafaat bagi industri rumahan seperti pembuatan roti, kue, krupuk, mie, bakso, soto, pengolahan jamur, jamu, teh, garam, dan gula merah. Masih banyak lagi sektor ekonomi kecil yang bisa memanfaatkan penggunaan briket batu bara sebagai sumber energi alternatifnya.
 Sebagian besar industri pemakai briket batu bara merupakan pasar yang cukup potensial mengingat sebagian besar merupakan anggota koperasi atau KUD. Berdasarkan hasil survei, perkiraan kebutuhan briket batu bara untuk industri kecil pengeringan gabah di Jawa dan Bali mencapai angka 573.073 ton per tahun. Sementara industri tahu dan tempe sebesar 308.780 ton per tahun, pemanas ayam (DOC) sekitar 181.030 ton, pondok pesantren 26.003 ton dan industri kecil jamu sebesar 700.800 ton/tahun. Tabel berikut menunjukkan potensi pengguna briket batubara.
Tabel
Perkiraan pemakaian briket batubara di Jawa dan Bali
(Ton )
Industri Pemakai 
Jawa Barat
Jawa Tengah
Jawa Timur
Yogyakarta
Bali
Total
Tahu/Tempe
111.660
84.500
96.400
8.150
8.070
308.780
Pengeringan gabah
207.053
166.575
170.677
12.944
15.824
573.073
Pemanas ayam
53.244
53.244
53.244
10.649
10.649
181.030
Pesantren
11.813
4.271
9.040
788
91
26.033
Jamu
87.600
87.600
525.600
-
-
700.800
Lain-Lain*)
2.520
1.992
2.400
120
100
7.132
Total
473.800
398.182
857.361
32.651
37.734
1.976.818
*) industri mie, rumah makan, industri petis, pabrik roti, pengeringan batubara, pengolahan kulit
Sumber : Departemen Koperasi & PKM


Selama ini, briket batu bara terbatas diproduksi oleh PT Tambang Batu Bara Bukit Asam (PT BA) yang mengoperasikan tiga pabriknya di Tanjung Enim, Tarahan dan Gresik. Masing-masing dengan kapasitas produksi terpasang 10.000 ton/tahun, 12.000 ton/tahun dan 120.000 ton/tahun. Pabrik briket di Tanjung Enim merupakan kerja sama antara PT BA dengan New Energy and Industrial Technology Development Organization (NEDO) Jepang dengan menerapkan teknologi proses briket terkarbonisasi.
Sedangkan pabrik di Tarahan, sebelumnya memproduksi briket arang kayu dengan teknologi proses dari Spanyol. Sejak tahun 1996 dikembangkan menjadi pabrik briket batu bara yang dapat memproduksi briket jenis telur tidak terkarbonisasi. Sedangkan pabrik di Gresik mengaplikasi teknologi dalam negeri yang menghasilkan briket sarang tawon jenis kubus dan tidak terkarbonisasi. Selain PT BA, terdapat dua perusahaan swasta yang memproduksi briket batu bara yaitu CV Sinar Teknik Utama yang memiliki kapasitas produksi 1.800 ton/tahun.

Cara menggunakan briket secara benar
Sebagian kelompok masyarakat ada yang beranggapan, briket batu bara semata-mata merupakan bongkahan hitam yang apabila dibakar akan menimbulkan asap kotor hitam, mengotori lingkungan dan mengeluarkan zat beracun. Pandangan tersebut keliru.
Briket batu bara terdiri dari dua jenis, yaitu briket terkarbonisasi dan briket yang tidak terkarbornisasi. Jenis pertama telah melalui satu tahapan proses karbonisasi untuk mengurangi zat beracun (volatile matter). Sementara jenis kedua kualitasnya memang lebih rendah, tetapi cocok digunakan pada sektor industri kecil dan menengah yang biasanya melakukan pembakaran di ruangan terbuka.
Dalam menggunakan briket batu bara, kompor sebaiknya diletakkan di tempat yang agak tinggi. Pintu atau jendela udara yang terletak di dekat kompor harus terbuka lebar, agar sirkulasi udara bisa berjalan lancar untuk meminimalisasi resiko karena penggunaan briket.
Pada waktu pertama kali dinyalakan pertama kali (khususnya untuk briket non karbonisasi), akan timbul asap yang mungkin mengganggu. Disarankan untuk tidak berada di dapur sekitar 10 menit pertama agar terhindar dari bau tersebut. Untuk mengatur panas/nyala, gunakan pengatur udara di bagian bawah kompor, dibuka lebar untuk pemanasan yang maksimum dan disempitkan untuk pemanasan minimum.
Sebagai langkah penghematan, gunakan briket sesuai dengan kebutuhan. Pemadaman dapat dilakukan dengan menutup pengatur udara dan bagian atas kompor (dengan penutupan). Atau mengambil satu persatu briket (khususnya yang tipe telur) yang menyala dengan penjepit kemudian dibenamkan ke dalam pasir atau abu briket batubara.
Manfaat dan keuntungan memasak dengan briket batubara antara lebih irit dan hemat, panas yang tinggi dan kontinyu sehingga sangat baik untuk pembakaran yang membutuhkan waktu lama. Nyala dari briket relatif bersih (tidak berjelaga), daya tahan nyalanya juga cukup lama. Sedangkan rasa, bau dan aroma dari masakan yang dimasak tetap asli/orisinil. Pemakaia briket batu bara juga bisa terhindar dari resiko kompor atau tabung yang meledak dan terbakar.
Oleh karena itu, dengan berbagai kelebihan yang dimiliki oleh briket batu bara tersebut seharusnya bisa dijadikan energi alternatif selain minyak tanah dan elpiji. Masalahnya, di masyarakat masih terjadi kesalahpahaman dalam memahami briket batu bara. Mungkin di sini diperlukan kebijakan pemerintah untuk memasyarakatkan briket batu bara sebagai energi alternatif. Lalu, masihkah kita harus mendengar lagi pertanyaan “Hari gini pakai briket batu bara?”***

Ir. Ahsonul Anam, MT
Staf Sub Bidang Konversi dan Pengendalian Polusi, Bidang Energi Fosil B2TE BPPT Puspiptek Serpong Tangerang
email : ahsonosh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar